Foto: Spaarnestad
Setelah Depresi Besar tahun 1929, yang dampaknya berlangsung selama satu dekade, hubungan antara Hindia Belanda dan Jepang mulai memanas. Jepang melihat Hindia Belanda sebagai pasar potensial dan sumber sumber daya alam yang melimpah untuk industri mereka, keinginan untuk mendominasi dan menguasai ini tentu tidak disukai oleh Hindia Belanda.
Pada tahun 1930-an barang-barang murah dari Jepang mulai masuk ke Hindia Belanda dan menggantikan barang-barang sejenis yang sebelumnya didatangkan dari Belanda. Agen-agen intelijen Jepang juga dilaporkan mulai menyusup ke Hindia Belanda sebagai fotografer, pedagang, dll.
Setelah pecahnya Perang Pasifik yang ditandai dengan serangan mematikan Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941, ketegangan antara Hindia Belanda dan Jepang meningkat. Kecurigaan bahwa Jepang akan segera menyerbu Hindia Belanda semakin tinggi, seperti yang terjadi terhadap negara-negara Asia lainnya.
Setelah serangkaian upaya diplomatik yang tampaknya hanya mengulur waktu, kecurigaan itu terbukti. Dalam waktu singkat tentara kekaisaran Jepang menaklukkan tentara Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda kemudian menyerah kepada Jepang yang telah menguasai berbagai daerah strategis di Hindia Belanda.
Jepang memandang Asia sebagai sumber tenaga manusia dan sumberdaya alam yang melimpah bagi kepentingan Perang Pasifik mereka. Rakyat Asia, termasuk Indonesia, dimobilisasi sebagai romusha untuk membangun infrastruktur pendukung perang, juga sumber-sumber minyak diambil alih untuk menjalankan mesin-mesin perang Jepang.
Foto di atas menunjukkan beberapa tentara Jepang berjalan di atas jembatan bersama anak-anak Indonesia. Waktu dan tempat pasti foto ini tidak diketahui, namun diduga foto tersebut diambil di Sumatera.