Industri Rumahan Topi Anyaman, 1937

in sejarah •  3 years ago 

SFA003000846.jpg
Foto: Wijnand Kerkhoff/Vintage

Topi tenun dari Jawa dulunya sangat populer di dunia, baik yang terbuat dari bambu maupun pandan. Topi tenun merupakan salah satu komoditas ekspor penting Hindia Belanda. Salah satu sentra produksinya berada di Tangerang, sebuah kota kecil dekat Batavia.

Saat tanaman padi yang menjadi tanaman pokok tidak terlalu membutuhkan perhatian, warga Tangerang berbondong-bondong menenun topi. Jumlahnya sangat besar, 200-300 ribu orang terlibat dalam proses produksi ini, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak.

Menurut catatan, keterampilan menenun topi dibawa oleh orang Tionghoa sekitar tahun 1850. Kemudian berkembang menjadi industri rakyat yang produksinya melibatkan seluruh anggota keluarga.

Topi tenun dari Tangerang sangat populer di kalangan wanita Eropa. Itu sebabnya banyak pelancong dari Eropa, terutama dari Prancis, mampir ke Tangerang saat berkunjung ke Batavia. Banyak perwira dan awak kapal uap Prancis membelinya dalam jumlah besar untuk dijual kembali di Eropa. Harganya murah, dan kualitasnya bagus menjadi alasan utama topi tenun Tangerang amat digemari di Eropa.

Para pedagang ini mendapat untung besar dari mengekspor topi tenun, harganya di Eropa bisa berkali-kali lipat. Sedangkan topi tenun Tangerang dibuat tanpa merk, sehingga harga yang diterima pengrajin sangat rendah.

Melihat potensinya yang luar biasa sebagai komoditas ekspor, pemerintah Hindia Belanda kemudian mempromosikan topi tenun Tangerang ke dunia. Menurut Laporan Perdagangan Vol. 1, ekspor topi tenun pada tahun 1929 mencapai 25,6 juta topi. Industri ini dihantam the Great Depression yang menekan daya beli masyarakat dunia. Kemudian terpukul lagi pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945.

Foto di atas menunjukkan proses pembuatan topi anyaman pada tahun 1937, yang kemungkinan besar berlokasi di Tangerang. Puluhan orang dalam satu keluarga besar dengan tekun menenun topi.

Saat ini, masihkah kita temui pengrajin topi anyaman seperti ini? Masihkah ada yang memakainya selain di daerah tujuan wisata?

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE BLURT!