Investasi, antara Risiko dan Imbal Hasil

Gambar: Sun Life

Setiap investor pasti mengalami dilema memilih instrumen investasi apa yang paling sesuai. Hal-hal yang diperhatikan oleh investor biasanya adalah risiko dan imbal hasil investasi, juga kemudahan likuidasi aset.

Hukum besi investasi adalah high risk, high return. Jika risikonya tinggi, imbal hasilnya juga harus besar. Jika tidak demikian maka tidak akan ada investor yang mau membeli aset berisiko tersebut. Sedangkan aset low risk sudah pasti low return juga.

Dalam investasi, seseorang bisa menjadi kaya dengan membeli aset yang berisiko tinggi dengan harga murah. Jika berhasil imbal hasilnya tinggi, jika gagal uang yang hilang tidak banyak. Ini adalah tipikal instrumen investasi "orang miskin".

Bayangkan jika anda punya modal Rp10 juta, lalu anda investasikan di saham dengan imbal hasil 12 persen. Berarti dalam setahun anda akan mendapatkan keuntungan Rp1,2 juta. Jumlah yang tentu tidak cukup untuk hidup. Namun jika modal tersebut anda investasikan di aset kripto yang kemudian melonjak 1.000 persen maka dana anda akan menjadi Rp100 juta.

Karena itulah "orang miskin" cenderung berinvestasi pada aset berisiko tinggi, karena berinvestasi pada aset berisiko rendah dengan modal yang kecil tidak akan terasa hasilnya.

Sedangkan "orang kaya" berbeda, dengan modal Rp10 miliar yang diinvestasikan pada saham dengan imbal hasil 12 persen, akan didapatkan keuntungan Rp 1,2 miliar per tahun. Jumlah yang cukup banyak untuk hidup. Untuk apa mengambil risiko tinggi jika dengan risiko rendah pun kebutuhan hidup sudah tercukupi?

Karena itu biasanya "orang miskin" cenderung berinvestasi pada aset spekulatif sedangkan "orang kaya" berinvestasi pada aset yang konservatif. Kalaupun "orang kaya" masuk ke aset spekulatif, maka jumlahnya sedikit saja dari total kekayaan mereka.

Jadi, mana yang lebih anda suka, aset spekulatif atau aset konservatif?

Apa? Lebih suka aset spekulatif? Anda masih miskin berarti 😆