"Berulang kali waktu membangunkanku untuk kembali ke masa lalu..”
Resah. Entahlah aku tidak tahu dengan perasaan itu ketika aku lihat samar-samar Dimas melangkah kearahku. Aku mengatur nafas dan menundukkan kepala. Sejenak, hembusan angin ku hirup dengan damai. Melantunkan sebuah rasa yang sekian lama seakan sirna. Dan kini rasa itu hadir lagi.
Aku keluar dari mobil. Dimas mencium kedua pipiku. Memapahku. Menutup kedua mataku. Sejak pertemuanku dengannya sebulan lalu. Semenjak dua tahun lalu tidak pernah bertatap wajah. Aku merengkuh dengan sejuta angan dan harapan yang telah lama terpendam.
“Loe mau kasih kejutan apa Dim..” Aku tersenyum girang.
Dimas tidak bergeming. Menuntunku masuk kesebuah ruangan. Rasanya seperti mimpi. Mungkinkah ini sebuah lamaran. Sekalipun belum ada satu katapun yang meresmikan hubungan kita. Setidaknya dua minggu lalu Dimas selalu menyebut-nyebut ingin segera melamar gadis impiannya. Hmm…. Aku tersenyum memikirkan itu.
“Loe siap Mel…”:
“Siap…”Jawabku spontan.
“Gue buka ya, 1…2…3…”
Perlahan aku membuka mata. Bayanganku masih jauh melambung. Berharap akan ada sebuah makan malam romantis. Dengan lilin berpijar, musik klasik, dan sentuhan cinta dengan sebuah cincin yang terselip di salah satu hidangan atau kalau tidak dalam sebuah botol sempen. Hahhhh… Aroma kental mewangi mengisi rungan itu. Aku mencium nya dengan seluruh perasaan yang menggelora.
“Surprise….” Seru Dimas. Mengangkat kedua tangannya.
Wajahku tiba-tiba menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Tidak ada makan malam romantis. Tidak ada lilin. Tidak ada bunga. Tidak ada musik klasik. Hanya ada seorang wanita cantik berdiri menghampiri Dimas dengan mesra. Menggandeng tangannya lalu bersandar di pundaknya.
“Ini apa maksudnya..?” Tanyaku penasaran.
Dimas tersenyum lembut. “Gue pengen kasih loe kejutan.. kenalin ini calon istri gue.”
Seketika seluruh bayanganku pudar. Tubuhku seakan lemas.
“Nila…” gadis itu menyodorkan tangannya. Aku terdiam, terpaku dan berdiri kaku.
“Mel… “ Dimas menyadarkanku.”Loe baik-baik aja kan?”
Tiba-tiba air mata itu tidak sanggup aku tahan. Ia keluar deras begitu saja menyentuh pipiku. Bibirku ingin mencaci. Menarik diri dan menghilang dari ruangan itu.
&“Loe nangis Mel.._” Dimas terkejut. Si gadis di sampingnya meronta, meminta penjelasan.
“Kenapa loe nyakitin gue Dimas..” Isakku
Dimas terheran. Menarik nafas dalam. ”Tunggu…. nyakitin loe?” Dimas mendekat. “Maksud loe apa Mel..”
&“Bodoh banget gue, selama ini gue mikir kalau loe kembali buat gue… mencintai gue seperti dulu.”_
Tiba-tiba Dimas tertawa lebar. “_Apa..? jadi selama ini loe mikir gitu. . Mel.Mel…”&
Aku terisak deras. Lalu berlari, menepi. Melesatkan mobil. Aku lihat Dimas berusaha mengejarku. Namun si gadis disampingnya berusaha menahan. Aku mengutuk diri. Kenapa harus selemah ini. Kesalahannya adalah aku terlalu percaya diri dengan sikap manis dimas. Hingga aku tidak peduli ucapan sahabatku Rio. Aku semakin menjadi mengingat Rio.. seharusnya aku tidak membiarkan dia terluka dengan ucapanku.
“Ini hidup gue, gak ada urusannya sama loe. Loe gak berhak ngatur hidup gue…”
Aku menepi sejenak. Menangis kembali. Membiarkan seluruh luka ini bergumul dan cukup untuk hari ini saja aku menangis. Dimas mungkin tidak tahu sesakit apa hatiku sekarang.
Aku terhenti. Mengangkat tanganku sedikit ragu. Mengumpulkan keberanian. Ku atur nafasku.
tok..tok..tok
Rio membuka pintu. Menatapku cemas. “Loe kenapa Mel..?”
Aku tersedu. Merangkul Rio dan kubiarkan jantung Rio berdetak keras di pelukanku. Rio tidak hentinya bertanya. Namun dia menyadari sesuatu.
“Jangan bilang loe nangis gara-gara Dimas..?”
Aku melepaskan diri. Menatap Rio dalam. Berharap dia tidak memarahiku seperti orang tua kepada anaknya yang berbuat salah.
“Bilang ke gue Mel.. siapa yang bikin loe nangis kaya gini..?”
Aku masih terdiam. Rio membiarkan aku masuk. Membawakan segelas air putih untukku. Aku mulai berani bicara.
“Gue salah menilai Dimas…. Gue fikir selama ini dia nganggap gue …hu..hu..hu..” Aku kembali tersedu. Kubiarkan kepalaku menyender di pundak Rio. Dia membelai rambutku lembut.
Begitulah Rio. Dia tidak pernah sekalipun kecewa dengan sikapku. Seringkali aku membuat perasaannya terluka dengan ucapan dan perilaku ku. Entahlah kenapa dia menjadi orang yang sangat baik kepadaku. Aku sempat berfikir bahwa dia menyukaiku… Ha..ha… Aku hanya tertawa geli memikirkan itu. Sampai suatu ketika. Disaat aku mulai bangkit dan menyendiri dengan hidupku. Berusaha untuk menjauh dari perasaan yang akan menyakitkanku nantinya. Rio datang disuatu sore. Aku tengah asyik dengan buku novelku. Tidak ada hujan, tidak ada angin, Rio tiba-tiba menyatakan perasaannya kepadaku. Tentu saja aku terkejut hebat. Ini sesuatu yang tidak mungkin. Rio sudah ku anggap seperti kakakku. Selalu melindungi dan menyayangiku.
“Tapi Rio…..” Ujarku
“Gue ingin menjadi malaikat pelindung loe, supaya tidak ada lagi orang yang nyakitin loe. Gue gak bisa nahan perasaan gue lagi..”
Akhirnya gue berfikir memberi kesempatan untuk Rio. Toh selama ini tidak ada yang salah dengan dia. Rio tampan, baik pula. Dan tiga bulan berjalan, aku merasa Rio menyayangiku dengan tulus. Tidak ada masalah yang aku alami. Hubungan kita berjalan baik-baik saja. Rio selalu mengabulkan apa yang aku mau. Terkadang aku membuat dia kewalahan dengan ulahku yang aneh-aneh. Tapi dia sabar sekali menghadapiku. Namun entah kenapa ketika Rio melamarku di suatu malam. Malam seperti yang aku bayangkan jika akan dilamar oleh seorang pria. Makan malam romantis. Lilin di sana sini. Bertabur bunga. Alunan musik klasik. Dan cincin yang tersemat diantara salah satu hidangan. Rio melakukan itu dengan sempurna.
“Will you married me..”
Aku terdiam. Rasa-rasanya aku belum siap dengan semua ini. Ini terlalu cepat. Rio menatapku, menyadari wajahku mulai berubah.
“Loe gak perlu jawab sekarang Mel.. “ Rio menyentuh tanganku. “Bulan depan gue ada launching novel gue. Gue harap loe akan jawab bertepatan dengan hari itu..”
Ucapan Rio benar-benar membuatku bingung. Tiba di rumah aku termenung. Aku tidak pernah berfikir akan sampai sejauh ini. Aku belum siap dengan semua kenyataan yang ada. Keesokan harinya aku tidak menjawab telepon dari Rio. Mama hanya geleng-geleng melihat ulahku. Aku takut Rio akan bertanya hal yang sama. Sampai Rio datang aku tetap menolak bertemu. Tapi rupanya Rio tidak pernah menunjukkan perasaan kecewanya. Samar-samar aku mendengar dia bicara dengan Mama.
“Biarkan Mel istirahat tante.. Rio tiak ingin mengecewakan Mel..”
Mama iba melihat Rio. Mama mendatangiku dan bicara serius. Aku benar-benar terpojok dengan pertanyaan mama.
“Kalau kamu tidak mau katakan tidak mau. Jangan membuat Rio menunggu seperti itu. Lagipula apa sih yang kamu cari..?”
Aku tidak bisa menjawab mama. Tapi aku sempat berkata. ”Aku belum siap ma..”
Dua hari berlalu. Aku masih dengan sikapku. Rio tidak lagi menghubungiku. Ada rindu terselip di sanubariku. Sore hari aku memutuskan menghilangkan penat. Aku pegi ke sebuah café, duduk memandangi sudut kota yang indah dibalik kaca. Tidak lupa aku membaca novel kesayanganku. Beberapa saat tiba-tiba ada suara menegurku. Suara itu tidak asing. Suara itu milik Dimas. Aku tercengang. Kenapa dia harus kembali. Aku mengacuhkan Dimas. Walaupun dia duduk di hadapanku.
“Gue ingin minta maaf Mel..”
“Minta maaf untuk apa ?..”
“Gue tahu loe sakit dan terluka Mel…” Kini Dimas berdiri mendekatiku. Duduk disebelahku. Aku mencoba menjauh.
_“Sudahlah.. itu masa lalu buat gue..”& Aku mencoba Jaim. Walaupun pada dasarya entah kenapa aku merasa ada setitik kebahagiaan. Aku hanya berharap Dimas lah yang melamarku bukan Rio. Dan pembicaraanpun mulai mencair. Aku mulai terbiasa dengan candaan Dimas. Sampai beberapa hari kedepan aku membiarkan diriku jatuh ke pelukan Dimas. Yang aku tahu Dimas tidak lagi bersama Nila, menurutnya dia tidak sebaik aku. Dimas menyesal sekarang. Setan apa yang merasuki ku, hingga aku tidak membiarkan Rio menemui ku. AKu menutup akses untuk Rio, menolak kedatangannya, menolak telepon dari Rio. Dan apapun yang berhubungan dengan Rio.
Puncaknya. Ketika suatu siang. Aku bergandeng tangan dengan Dimas di suatu Mall. Mungkin Rio sengaja membuntuti ku. Ketika dia menghampiriku, aku sangat marah. Memaki dan mencaci Rio sampai puas.
“Gue capek tahu gak.. mending loe jauh-jauh dari hidup gue. Asal loe tahu gue gak bisa suka sama loe apalagi harus nikah sama loe.. ngerti.”
Rio melangkah gontai. Tidak sedikitppun menjawab cacianku. Aku kembali menggandeng Dimas. Tiba di rumah mama habis-habisan memarahiku. Katanya Rio tadi datang untuk pamit. Aku sama sekali tidak peduli. Justru aku senang pada saat itu.
Setelah kejadian itu tidak ada kabar lagi dari Rio Dia benar-benar menghilang. Sudahlah toh aku punya Dimas yang sudah berubah sekarang. Aku berjalan riang menuju rumah Dimas. Kulihat ada sebuah mobil Honda Jazz merah terparkir disana. Aku memanggil-manggil Dimas namun tida ada jawaban. Ada samar-samar suara tawa dari arah taman, perasaanku mulai berubah dan benar saja kupergoki Dimas bersama seorang gadis.
“Dimas...” Teriakku. Dimas terperanjat saat itu.
“Lo keterlaluan Dim.. ternyata gue salah menilai loe. Bodoh banget gue ngebiarin loe balik ke hidup gue...”
“Ayolah Mel.. kenapa harus selalu kaya gini ?.. enjoy aja lah…” Ujar Dimas. Aku semakin muak.
“Loe itu tidak lebih dari seorang laki-laki brengsek yang tidak punya hati. Tau gak .!!!!”
Aku puas karena aku sempat menampar Dimas. Aku berlari menangis sekeras mungkin. Aku tidak punya Rio untuk kubanjiri air mata. Tidak sengaja ku lihat kotak kecil berwarna merah. Cincin pemberian Rio. Aku segera menuju rumah Rio namun tidak ada siapapun. Aku pergi ke kantornya, ternyata sudah beberapa hari ini Rio tidak masuk.
Dua hari menjelang launching novel. Belum ada tanda-tanda Rio kembali. Sampai akhirnya aku menonton sebuah tayangan televisi. Rio duduk diantara orang-orang yang mendampinginya. Melaunching novelnya di sebuah stasiun televisi. Yang membuatku terharu adalah ketika Rio mengatakan bahwa akulah inspirasinya. Aku segera menuju stasiun televisi itu. Menghadang sekumpulan orang. Disaat itulah aku menghampiri Rio. Menangis dan meminta Rio kembali.
“Loe bilang gue harus jawab lamaran loe di hari launching novel.. dan jawaban gue iya ”
Entah terbuat dari apa hati Rio. Dia memelukku. Menyematkan cincin itu di jariku. Tepuk tangan riuh menyelimuti kami berdua. Dan akhirnya aku dan Rio menikah dan hidup bahagia.