Part 1 dari seri Ramadhan Journey
Oleh: @amriadits
Pagi itu seorang anak terlihat sedang berdialog dengan ibundanya di pojok gubuk kecil yang terbuat dari bambu dan triplek seadanya. Ia menanyakan perihal hari ini apa ibunya akan membelikan daging untuk dimasak. Karena hari ini adalah hari Meugang, yang mana seluruh lapisan masyarakat membeli dan memasak daging. Karena besok sudah masuk puasa Ramadhan.
Namun Janda Anak 1 itu belum ada uang untuk membeli daging Meugang hari itu. Maklum habis badai Covid-19 kondisi ekonomi para petani desa tidak menguntungkan. Karena harga-harga hasil pertanian sedang turun. Hasil bumi sedang tidak memihak kepadanya.
Setelah bercakap dengan anaknya, kemudian janda korban konflik yang akrab Nyakmah itu bergegas menuju pasar. Untuk melihat apa ada daging yang tidak layak di jual di pasar agar anaknya bisa merasakan daging atau minimal perasa saja.
Setelah ia melihat-lihat seisi pasar ia belum berani menanyakan perihal apa ada daging yang tidak layak di jual, namun masih bisa untuk diolah. Hampir setengah hari ia mengelilingi pasar itu. Kemudian ada pedagang yang menegurnya dan menanyakan kepadanya kenapa dari tadi dia hanya keliling pasar.
Dari itu Nyakmah memberanikan diri menceritakan perihal dirinya ke pasar. Sangat terkaget dan terkejut pedagang itu. Kemudian pedagang itu menanyakan suaminya kemana. Nyakmah pun menceritakan kalau suaminya adalah korban pembantaian saat DOM di Aceh pada tahun 2004 yang lalu. Dimana saat itu anaknya masih balia baru beranjak usia 3 bulan.
Kemudian sambil berlinang air mata pedagang itu membungkus daging satu tumpuk untuk dibawa pulang oleh Nyakmah agar anaknya yang menginjak usia remaja itu bisa bahagia di hari Meugang seperti anak lainnya.
Dari kisah-kisah pilu yang saya dengar dari teman-teman di Aceh, saya pun menelusuri seberapa penting melestarikan tradisi Meugang di Aceh. Dibawah penduduk yang masih banyak berada dibawah garis kemiskinan. Apalagi tradisi Meugang ini dalam satu tahun ada 3 kali, 1 hari sebelum Ramadhan, 1 hari sebelum Idul Fitri dan 1 hari sebelum Idul Adha.
Bagaimana sejarah Meugang ini ada di Aceh, darimana asal muasalnya. Sejauh mana akan pentingnya tradisi ini untuk di lestarikan.
Untuk menjawab hal itu saya menghubungi Tokoh Agama dan masyarakat yang ada di Lhokseumawe. Tgk. Mustakim Nurdin Pimpinan Ma'had Ahlul Qur'an Kota Lhokseumawe.
Menurutnya tradisi Meugang ini bukan dibuat oleh masyarakat Aceh oleh satu atau dua orang. Namun tradisi ini ada sejak zaman kerajaan Aceh dahulu yang tiap daerah melakukan penyembelihan Sapi, Kerbau, Kambing dan binatang ternak lainnya untuk dibagikan kepada seluruh masyarakat Aceh kala itu di tiap daerah. Sebagai bentuk mensyukuri atas kemakmuran Aceh yang diberikan oleh Allah Subhana wa ta'ala. Atas rasa syukur itulah hadirnya tradisi Meugang sampai saat ini.
Namun saat ini, tradisi Meugang sudah jauh berbeda, saat ini justru masyarakat Aceh berlomba-lomba untuk membeli daging Meugang dan bahkan ada yang sangat miris, ada harus menahan malu untuk minta-minta agar anaknya bisa makan daging Meugang.
Karena itu Tgk. Mustakim mengajak masyarakat agar tradisi Meugang di kembali ke Khitahnya sebagaimana masa kerajaan dahulu. Maka politisi, pengusaha dan orang menengah keatas agar lebih peka terhadap hal ini. Mari kita lestarikan tradisi Meugang ini sebagai bentuk mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita semua.
Sebagaimana masa kerajaan dahulu yang membagikan secara cuma-cuma tanpa menjualnya. Sehingga tradisi Meugang ini sesuai dengan Khitahnya atau sesuai dasarnya, bermanfaat bagi masyarakat Aceh dan tradisi Meugang tentunya akan lebih bermakna.
Hal yang sama juga diungkapkan pengamat kebijakan publik dan juru bicara Jaringan Aspirasi Rakyat Aceh (JARA), Rizky Maulizar. Menurutnya tradisi Meugang ini pertama kali nya ada pada masa kerajaan Aceh Darussalam, tepatnya pada masa Sultan Iskandar Muda. Dimana pada masa itu, kerajaan Aceh memang sangat makmur dan sejahtera.
Untuk meyakinkan pendapat mereka tentang sejarah Tradisi Meugang ini, saya melakukan penelusuran dari sumber-sumber terbuka dan beberapa hasil penelitian, hasilnya sama seperti yang diungkapkan dua narasumber diatas.
Kemudian saya menghubungi narasumber berikutnya, Muhammad Nadir aktivis dakwah dan CEO Hoka Travel Indonesia yang pernah dikirim oleh Dewan Da'wah Pusat untuk berdakwah di Pulau Banyak, namun selama beliau disana tidak ada tradisi Meugang disana. Padahal Pulau Banyak adalah masuk kedalam pemerintahan Aceh. Pulau Banyak, yang terletak di Aceh Singkil ini, menyimpan banyak keindahan Alam dan menjadi tempat destinasi wisata Nasional. Namun susah bahan pokok seperti beras dan daging disana, mengingat kondisi alam memang tidak memungkinkan. Hasil alam satu-satunya dari laut. Tidak ada padi atau beras disana, kalau ada pun yang didagangkan harganya sangat mahal. Belum tentu ada beras yang masuk seminggu sekali. Tergantung pada kondisi laut disana.
Bagaimana dengan Aceh bagian Tengah. Saya menghubungi Mahdi melalui pesan WhatsApp penduduk asli Takengon. Namun hingga tulisan dimuat belum ada balasan darinya.
Sementara itu Kolektor Manuskrip Aceh Tarmizi A Hamid menjelaskan Meugang merupakan tradisi di Aceh yang sudah dilaksanakan sejak abad ke-17 dan termaktub dalam Undang-undang Aceh "Qanun Meukuta Alam". Tujuannya untuk memupuk rasa kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama di kalangan masyarakat Aceh itu sendiri.
Karena itu pada hari Meugang itu restoran, toko-toko, kantor-kantor tutup semua dan para perantau pun pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga dan dapat bersantap daging Meugang bersama keluarga.
Karena itu kalau dari tujuan dasar, dari sejarah dan makna Meugang itu sendiri harus dilestarikan tradisi ini. Namun rasa kepedulian dan empati serta lupa dengan sesama apalah gunanya sebuah tradisi. Karena itu Tradisi Meugang ini harus kembali ke Khitahnya, sebagaimana masa Sultan Iskandar Muda.