(Gambar ilustrasi Rindu yang tak Beralamat diambil dari Unsplash.com @ NIR HIMI)
Rinduku mengembara di lorong-lorong senja,
mengeja bayangmu yang tak lagi nyata.
Angin membawa namamu ke ufuk jauh,
tapi tak pernah sampai ke tangan yang menunggu.
Kupahat namamu di dinding hati,
namun waktu perlahan menghapusnya pergi.
Aku menunggu, entah pada siapa,
sebab rinduku tak punya alamat nyata.
Malam-malam sunyi menjadi saksi,
aku merajut rindu dalam mimpi.
Namun fajar datang membawa kenyataan,
kau tak ada, hanya bayang dalam ingatan.
Jika rindu ini punya jalan pulang,
biarlah ia mengetuk pintu yang benar.
Sebab aku lelah berbicara pada sepi,
menunggu tanpa tahu siapa yang dituju.
Aku titipkan rindu pada angin,
biar ia menari di antara awan.
Mungkin ia kan menemukan dermaga,
tempat rinduku bisa bersandar tenang.
Langit menyimpan kisah yang hilang,
tentang doa-doa yang tak pernah pulang.
Aku memanggil namamu dalam bisikan,
tapi sunyi hanya menjawab dengan kehilangan.
Hujan turun membawa kenangan,
menyirami hati yang penuh kerinduan.
Tapi di manakah kau kini berada?
Rinduku hanyalah bayang di udara.
Di antara detik yang terus berlari,
aku menunggu dengan hati sendiri.
Apakah rindu bisa menemukan jalan?
Atau ia hanya berjalan tanpa tujuan?
Jika waktu dapat kuputar ulang,
aku ingin menyebut namamu sekali lagi.
Bukan untuk meminta kau kembali,
hanya agar rindu ini tak lagi sunyi.
Tapi kini aku hanya bisa diam,
menitipkan rindu pada senja yang padam.
Tak ada alamat untuk kukirimkan,
sebab kau adalah rindu yang tak bertuan.
Lampung, 8 Februari 2025
@maskuncoro